Rabu, 26 Maret 2008

arti aktivis animasi menurut adit dari vakultas animasi indonesia

Menurut Adit, aktivis animasi itu tidak hanya membuat animasi karena kalau hanya membuat semua bisa. Selain membuat animasi, dirinya juga memiliki kepedulian tentang perkembangan animasi di Indonesia. Jadi dirinya harus lebih aktif, tidak hanya sekedar membuat tapi juga mengakomodasi. Misalnya, banyak animator yang membuat animasi tapi tidak tahu wadahnya maka dirinya membuat festival, atau banyak orang yang ingin mengetahui bagaimana cara membuat animasi tapi tidak tahu caranya maka berusaha menyediakannya.
Adit mengatakan kita masih kekurangan film animasi dan animatornya secara kuantitas dibandingkan dengan negara-negara lain. Karena itu strateginya adalah menciptakan banyak orang yang bisa membuat animasi. Itu karena membuat animasi tidak cukup satu orang kalau kita ingin memiliki banyak film animasi secara kuantitas.
Berikut wawancara Jaleswari Pramodhawardani dengan Wahyu Aditya. Wawancara lengkap dan foto narasumber dapat pula dilihat pada situs http://www.perspektifbaru.com. Lewat situs tersebut Anda juga dapat memberikan komentar dan usulan.

Terus terang kalau kita lahir pada tahun 1960an – 1970an, dulu di televisi (TV) ada kartun bernama ”Huma”. Itu adalah kartun yang sangat sederhana sekali, satu-satunya film kartun yang kita miliki. Sekarang kita mendapat serbuan kartun Jepang, belum lagi dari Hollywood, Eropa dan segala macamnya. Kehadiran Adit selaku animator sebetulnya sangat dinantikan apalagi di tengah minat anak muda sekarang tentang sebuah kartun ala Indonesia. Tapi, mengapa sampai hari ini Adit belum berniat untuk memproduksi film animasi atau kartun dan semacamnya?
Saya memang rindu akan animasi buatan Indonesia. Tapi setiap orang mempunyai strategi sendiri-sendiri. Strategi saya adalah menciptakan banyak orang yang bisa membuat animasi. Karena membuat animasi, tidak cukup dengan satu orang kalau kita ingin memiliki banyak film animasi secara kuantitas. Huma waktu itu bisa sukses karena dukungan pemerintah. Kalau kita mau membuat animasi tanpa biaya yang tinggi memang sangat susah. Banyak animasi luar yang masuk ke Indonesia karena mereka sudah mengetahui ini bisnis yang menjanjikan. Sedangkan orang Indonesia masih meraba-raba bahkan tidak tahu bisnis animasi itu seperti apa. Itu yang mungkin harus disosialisasikan. Jadi strategi saya adalah selain membuat sekolah karena saya lebih peduli pada generasi penerus dengan memantapkan pendidikannya, saya juga membuat Festival Film Animasi.

Kapan itu mulai?
Sejak sekolah saya berdiri pada tahun 2004.

Apakah di sekolah tersebut semua siswa belajar tahapan membuat sebuah animasi?
Ya, karena banyak orang menganggap membuat animasi itu susah, harus perlu orang yang jago menggambar, dan sebagainya. Melalui pendidikan, saya mencoba strategi membuat animasi yang mudah dulu, atau animasi yang tidak harus menggambar. Pemikiran-pemikiran itu yang ingin saya ubah.

Apakah orang yang tidak bisa menggambar bisa membuat animasi?
Bisa. Menurut saya, inti dari animasi itu menghidupkan. Arti dari animasi itu sendiri bukan banyaknya gambar yang harus kita gambar. Tapi tugas animator adalah membuat ilusi dari susunan gambar diam.

Apa motivasi Anda pertama kali terjun menekuni animasi, apa karena Anda senang menggambar atau memang mempunyai impian?
Dari sekolah dasar (SD) saya memang suka menggambar, tidak pernah memperhatikan pelajaran. Saya suka membuat komik. Komik itu saya distribusikan dari satu meja ke meja yang lain. Itu terus berkembang aktif di majalah sekolah sewaktu saya di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah atas (SMA) sampai akhirnya saya mentok: ”Lho kok karakter saya ini tidak hidup ya. Tidak bergerak, tidak ada suaranya, tidak ada interaksi”.

Apakah pemikiran Anda tersebut saat film animasi mulai membanjiri kita?
Sewaktu SMA, itu zaman film Voltus V, Mickey Mouse. Tapi saya pribadi ingin karakter gambar saya hidup. Saya mencari tahu, solusinya hanya lewat animasi untuk menghidupkan karakter gambar saya. Akhirnya, saya mendalami animasi.

Dimana?
Waktu itu masih belajar sendiri di SMA. Saya membuat gambar di buku-buku pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA) dan ilmu pengetahuan sosial (IPS) saya yang tebal-tebal. Akhirnya teman orangtua saya menganjurkan agar saya sekolah di Sydney, Australia.

Apa jurusan yang Anda ambil?
Waktu itu memang tidak ada jurusan animasi. Animasi adalah bagian dari multimedia. Jadi saya belajar di jurusan multimedia.

Setelah belajar di sana, apa yang membedakan animo masyarakat Indonesia pada umumnya tentang animasi dibandingkan negara lain dalam konteks akademik?
Kalau di Indonesia masih bagian dari desain komunikasi visual (DKV). Itu pun tidak spesifik tentang animasi, hanya dasarnya saja. Waktu saya di Sydney, Australia, animasi juga masih belum setenar tahun 2000-an. Sewaktu saya kuliah pada tahun 1998 untuk memperoleh software animasi saja masih susah, masih mahal. Jadi animonya memang masih tinggi di luar negeri daripada di Indonesia.

Kita mengetahui di Indonesia ada pasar tentang orang yang berminat terhadap animasi. Kita bisa melihat bagaimana tergila-gilanya sebagian orang muda terhadap kartun Jepang dan animasi dari negara Barat. Mengapa Anda tidak mencoba untuk terjun membuat sebuah film animasi apalagi saya sebagai orang yang lumayan suka dengan film belum pernah melihat film-film animasi garapan Indonesia?
Sebetulnya film animasi buatan Indonesia pada tahun-tahun ini sudah ada beberapa, walaupun masih bisa dihitung dengan jari. Sekitar tahun 2002 ada inisiatif dari Garin Nugroho untuk membuat film animasi berjudul Homeland. Dia berkerja dengan animator dari Yogyakarta. Cuma sayangnya waktu itu tidak tembus ke bioskop-bioskop terkenal karena ada kendala di dana distribusi. Tapi sekarang juga ada Production House (PH) seperti Castle dan Mahaka membuat animasi serial tapi dalam taraf untuk TV kabel.

Jadi sebenarnya ada tapi itu terbatas untuk kalangan tertentu seperti TV kabel dan semacamnya?
Iya. Saat ini ada juga sebuah PH atau studio animasi bernama Infinite Framework, dan mungkin itu yang paling besar di Indonesia. Pemiliknya memiliki modal yang besar, dia adalah pengusaha minyak. Dia membeli PH dari Singapura lalu sekarang sudah milik Indonesia. Tapi sayangnya mereka masih membuat proyek untuk Singapura karena memang 50% dana diberikan oleh pemerintah Singapura. Jadi atas namanya tidak bisa diklaim seratus persen milik Indonesia, walaupun 90% animatornya adalah orang Indonesia. Itu karena saat itu proyeknya sudah ada dengan ceritanya sudah ada tentang dongeng dari Singapura. Namun karena orang Singapura tidak memiliki sumber daya manusia (SDM) yang banyak dan sentuhan rasa seninya kurang sehingga dialihkan ke Indonesia. Ini membuktikan bahwa sebetulnya skill orang Indonesia bagus.

Jadi, kaitannya dengan sekolah yang Anda bangun tadi adalah Anda ingin memperbanyak sisi kuantitas animator.
Secara kuantitas pun kita masih kurang dibandingkan dengan negara-negara lain.

Apakah biaya untuk membuat film animasi lebih besar dibandingkan dengan film layar lebar biasa, atau produsernya memang tidak berminat ke sana? Apa kendalanya?
Sebetulnya secara dana bisa diakali, bisa lebih murah, bisa lebih mahal. Itu tergantung strategi dan konsepnya. Hanya saja produser atau investor masih berfikir mungkin karena TV masih membeli secara murah. Coba bayangkan, TV hanya membeli satu episode seharga Rp 5 - 10 juta.

Apakah Itu berlaku untuk semua tayangan TV termasuk juga sinetron?
Tidak, sinetron lebih mahal karena mungkin penayangannya di malam hari. Tapi kalau animasi, harganya bersaing dengan produk impor. Film-film impor yang secara kualitas sudah bagus, sudah bisa menjamin rating yang tinggi tetap murah bahkan bisa gratis. Kalau stasiun TV membeli banyak program biasanya mendapat bonus animasi. Itu mungkin yang membuat para investor atau produser lokal berpikir dua kali, kalau membuat animasi untuk TV, apakah bisa balik modal bila ada sistem bonus tadi.

Bagaimana kalau Anda suatu saat diberi kesempatan membuat film? Apakah Anda akan lebih nyaman membuat film di layar lebar?
Mungkin itu lebih ke prestige. Kalau layar lebar lebih detail secara pembuatannya. Film layar lebar pasti kualitasnya lebih bagus daripada serial TV. Kalau di layar lebar mungkin lebih jelas karena keuntungan produksi animasi tersebut dari penjualan tiket. Jadi tidak dibayar putus seperti di TV.

Apakah semua film layar lebar bisa dianimasikan karena selama ini kalau saya melihat film kartun selalu putri raja, selalu bicara soal hewan-hewan? Bagaimana kalau sebuah kehidupan nyata di adopsi ke film animasi, apakah cukup menarik?
Kalau kita hanya mengadopsi dari yang ada sekarang lebih baik kita pakai lifeshoot saja karena animasi itu bisa melebihi suasana yang kita hadapi sekarang. Limit fantasi dari animasi itu hanya imajinasi. Tadi dikatakan kartun ada di layar lebar manapun. Menurut saya, kartun itu pasti animasi, tapi animasi itu belum tentu kartun karena kartun itu hanya bagian style dari animasi. Misalnya, kalau kita melihat di TV ada iklan yang menggunakan animasi atau opening sebuah TV program menggunakan animasi, itu bukan kartun tapi itu tetap animasi. Kategorinya beda bisa dikatakan motion graphics atau kalau di festival-festival istilahnya experimental animation. Jadi banyak sekali stylenya.

Anda menolak bila dikatakan sebagai seorang animator tapi lebih memilih dikatakan sebagai seorang aktivis animasi. Apa perbedaannya?
Agar keren aja. Sebetulnya kalau aktivis animasi itu tidak hanya membuat animasi karena kalau hanya membuat semua bisa. Tapi saya juga memiliki kepedulian pada perkembangan animasi di Indonesia. Jadi saya harus lebih aktif, tidak hanya sekadar membuat tapi juga mengakomodasi. Misalnya, banyak animator yang membuat animasi tapi tidak tahu wadahnya maka saya membuat festival, atau banyak orang yang ingin mengetahui bagaimana cara membuat animasi tapi tidak tahu caranya maka saya berusaha menyediakannya.

Mungkin Anda bisa menceritakan perjalanan Anda ke festival yang Anda ikuti kemarin di Inggris. Apa film yang Anda ikut sertakan di sana?
Itu bukan festival tapi sebuah kompetisi yang diadakan oleh British Council, mereka berinisiatif untuk mencari entrepreneur di bidang perfilman dan animasi. Ini kedua kalinya saya ikut kompetisi semacam ini. Tahun lalu saya ikut kompetisi kategori desain tapi cuma masuk tiga besar. Jadi di kompetisi itu ada banyak kategori: ada desain, film, fesyen, musik. Saya sudah berhasil masuk sebagai finalis untuk kategori desain dan film. Lalu keluar sebagai pemenang pada kategori film. Dari Indonesia diambil 10 finalis dari yang mendaftar 50 orang/kategori. Yang dinilai sebenarnya bukan filmnya tetapi jiwa entrepreneur-nya. Jadi latar belakang bukan hanya animator, tetapi ada berbagai macam seperti pengelola festival, sales film, pemilik toko video. Jadi bukan hanya hasil filmnya yang dinilai, tetapi juga yang dia perbuat di dunia perfilman.
Saya mewakili Indonesia lalu dikompetisikan lagi ketika di London, Inggris bertemu sembilan finalis lain seperti dari Cina, India, Nigeria, dan lainnya. Kita di sana selama dua minggu, yaitu satu hari untuk kompetisi dan sisanya adalah untuk training atau tepatnya kita mendapat pendidikan tentang industri film di London dengan harapan kita bisa menyalurkan informasi itu ke negara masing-masing. Mereka sangat bagus sekali terutama secara organisasinya, mungkin itu bisa kita tiru.

Dari segi isi film, apakah kita punya ciri khas?
Menurut saya, isi animasi lebih baik yang internasional karena keuntungan membuat animasi itu adalah semua ras, negara bisa menerimanya. Semua jender juga bisa menerimanya. Jadi itu strategi membuat animasi yang baik selain fantasi tentunya.

Apakah ada atau tidak ciri khusus setiap animasi dari masing-masing negara?
Pada saat di London yang masuk kategori animasi itu hanya saya sendiri. Lainnya, ada yang dokumenter, video musik, film layar lebar biasa. Jadi saya masih belum bisa membandingkannya, tetapi kalau animasi itu biasanya memang rata-rata sangat variatif.

Jadi konteks kelokalan masih saja kelihatan. Apa film animasi yang Adit buat?
Jadi yang saya presentasikan di sana bukan tentang film animasinya, tetapi apa yang saya lakukan di Indonesia. Bahwa perkembangan animasi di Indonesia adalah seperti ini, dan yang saya perbuat adalah seperti membuat sekolah, festival, dan ada juga yang lebih memiliki nilai ekonomi seperti iklan dan animasi pendek.

Apa cita-cita Anda dengan hal yang sudah Anda lakukan selama ini?
Mimpi jangka pendek, saya mempunyai animasi layar lebar sendiri. Kemungkinan saya harus realisasikan pada 2010. Kalau yang jangka panjang, saya ingin membuat taman impian dihiasi oleh karakter-karakter ciptaan saya untuk menghibur orang-orang.

Apa yang menjadi kendala untuk merealisasikan gagasan-gagasan itu?
Kalau membuat mimpi itu mudah, tetapi butuh modal untuk semua itu. Strategi saya, saya banyak mengundang para investor termasuk untuk mengelola pendidikan yang saya ciptakan. Kebetulan saya juga pernah menang di beberapa festival pada kategori script development untuk film layar lebar. Dengan mengikuti festival akan lebih mudah untuk mendapatkan investor. Apalagi juri telah memilih saya sebagai pemenang, maka itu menjadi modal utama saya untuk menawarkan kepada investor.

Menurut pengamatan Adit, apakah di Indonesia banyak aktivis-aktivis animasi?
Pembuat animasi masih lebih banyak ketimbang aktivisnya. Jadi yang mengelola animasi masih lebih sedikit dibanding pembuat animasinya, seharusnya diimbangi.

Apa ide atau gagasan Anda jika nanti membuat film animasi untuk layar lebar?
Sesuai yang saya menangkan tahun lalu, filmnya tentang dunia mikroba, mahluk terkecil di dunia karena bapak saya juga profesor di bidang mikrobiologi. Jadi terinspirasi. Ada orang yang tidak pernah mandi, lalu kita zoom (perbesar) ke rambutnya, lalu ada ketombe berbentuk pulau Indonesia. Kemudian kita zoom lagi, ada kota berjalan. Kota yang bisa dikendalikan, salah satunya adalah Arema city karena kebetulan saya dari Malang. Sebenarnya judul filmnya adalah “The Micro Squad” jadi kesatuan polisi yang menjaga ketenangan kota.

Apa yang ingin Anda sampaikan dari film itu?
Hanya ingin menghibur saja dengan fantasi-fantasi saya.

Tidak ada komentar: